Pasal 8
(1)
Seluruh
penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak
atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari
tahun‐tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali
penghasilan tersebut semata‐mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi
kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga lainnya.
(2)
Penghasilan
suami‐isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a.
suami‐isteri
telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b.
dikehendaki
secara tertulis oleh suami‐isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau
c.
dikehendaki
oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri.
(3)
Penghasilan
neto suami‐isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c
dikenai Pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suamiisteri dan
besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing‐masing suami‐isteri dihitung
sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
(4)
Penghasilan
anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.
Penjelasan Pasal 8
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang‐Undang ini
menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau
kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang
dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam hal‐hal tertentu pemenuhan kewajiban Pajak
tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin
pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai
penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai Pajak sebagai satu kesatuan.
Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh
dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja,
dengan ketentuan bahwa:
a.
penghasilan
isteri tersebut semata‐mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
b.
penghasilan
isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha
atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha
sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang
menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh
juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi
kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak
ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan
neto sebesar Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan
penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat
final. Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha,
misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp 80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp
150.000.000,00 (Rp 70.000.000,00 + Rp 80.000.000,00) digabungkan dengan
penghasilan A.
Dengan
penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp 250.000.000,00 (Rp1
00.000.000,00 + Rp 70.000.000,00 + Rp 80.000.000,00). Potongan pajak atas
penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap
pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami‐isteri telah hidup berpisah berdasarkan
keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya
dilakukan sendiri‐sendiri. Apabila suamiisteri mengadakan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya
dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami‐isteri dan
masingmasing memikul beban Pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami‐isteri yang mengadakan
perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki
untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai
berikut.
Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan
usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah
penghasilan sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya,
pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp 27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima
ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing‐masing suami dan isteri
pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
‐ Suami: 100.000.000,00
x Rp 27.550.000,00= Rp 11.020.000,00
250.000.000,00
‐ Isteri : 150.000.000,00 x Rp 27.550.000,00 = Rp 16.530.000,00 250.000.000,00
Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber
penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang
tuanya dalam tahun pajak yang sama.
Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah
berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan
dengan penghasilan ayah atau ibunya
berdasarkan keadaan sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar