Jumat, 01 April 2016

Pasal 8 UU PPh




Pasal 8

(1)     Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun‐tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata‐mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

(2)     Penghasilan suami‐isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a.    suami‐isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b.   dikehendaki secara tertulis oleh suami‐isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
c.    dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

(3)     Penghasilan neto suami‐isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai Pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suamiisteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing‐masing suami‐isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

(4)     Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.


Penjelasan Pasal 8

Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang‐Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam hal‐hal tertentu pemenuhan kewajiban Pajak tersebut dilakukan secara terpisah.

Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai Pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
a.    penghasilan isteri tersebut semata‐mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
b.   penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final. Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp 150.000.000,00 (Rp 70.000.000,00 + Rp 80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar                    Rp 250.000.000,00 (Rp1 00.000.000,00 + Rp 70.000.000,00 + Rp 80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami‐isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri‐sendiri. Apabila suamiisteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami‐isteri dan masingmasing memikul beban Pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami‐isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.
Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar                    Rp 27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing‐masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:

‐ Suami: 100.000.000,00 x Rp 27.550.000,00= Rp 11.020.000,00
               250.000.000,00

‐ Isteri : 150.000.000,00 x Rp 27.550.000,00 = Rp 16.530.000,00               250.000.000,00

Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.
Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya  berdasarkan keadaan sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar