Pasal 18
(1)
Menteri
Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara
utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan
Undang‐undang ini.
(2)
Menteri
Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam
negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha
yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
besarnya
penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b.
secara
bersama‐sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal
paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3)
Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode
biaya‐plus, atau metode lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak
negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak‐pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama
suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau
aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud
demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang
sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan
mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat
ketidakwajaran penetapan harga.
(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
(conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat
kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan
perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau
sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam
bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(4)
Hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9
ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a.
Wajib
Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib
Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang
disebut terakhir;
b.
Wajib
Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c.
terdapat
hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.
(5)
Dihapus.
Penjelasan Pasal 18
Ayat (1)
Undang‐Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan
untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal
perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam
dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila
perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas‐batas
kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam
hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang‐Undang ini
menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau
pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan
“kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan
internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak
dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan
penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan
usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk
menentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing‐masing memiliki saham sebesar 40% dan
20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q.
Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek.
Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah Pajak sejumlah
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hal demikian, Menteri Keuangan
berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan
istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi
penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi
dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan
keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan
istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut
digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method),
metode biaya‐plus (cost‐plus method), atau metode lainnya seperti metode
pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional
(transactional net margin method).
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara
terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal
perusahaan.
Penentuan tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui
indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim terjadi di
antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar
data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan
utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk
dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga
tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA)
adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai
harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak‐pihak yang mempunyai
hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah
untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh
perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal
Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang
dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain‐lain, tergantung pada kesepakatan.
Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan
penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan
keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang
sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan
Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut
Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran
pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu
perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang
didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).
Ayat (3c)
Contoh:
X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah
negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95%
(sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan
di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang
didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B,
dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas
saham PT X.
Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X
Ltd. kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal
transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib
Pajak luar negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan
kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar
negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak
Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi
karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
atau
b. adanya
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal‐hal tersebut, hubungan istimewa di
antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan
darah atau perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan
kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT
B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen)
saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai
penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian,
antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A
juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT
D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti di atas
dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi
karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak
terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau
lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama.
Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang
berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan
“hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat”
adalah saudara.
Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan
keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar