Pasal 10
(1) Harga
perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4)
adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila
terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima.
(2) Nilai
perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar‐menukar harta adalah
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh
Menteri Keuangan. (PMK-43/KMK.03/2008)
(4)
Apabila
terjadi pengalihan harta:
a.
yang
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar
penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak
yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b.
yang
tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka
dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari
harta tersebut.
(5)
Apabila
terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c,
maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan
nilai pasar dari harta tersebut.
(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan
harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata‐rata
atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.
Penjelasan Pasal 10
Ketentuan
ini mengatur tentang cara penilaian harta, termasuk persediaan, dalam rangka menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalaperusahaan,
menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan atau pengalihan
harta, dan penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan.
Ayat (1)
Pada
umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah
harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah
harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga
beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut,
seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Dalam jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai
perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai
penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa
antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih
besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur
bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak‐pihak yang
bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya
diterima.
Ayat (2)
Harta
yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar‐menukar dengan harta lain, nilai
perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan
atau diterima berdasarkan harga pasar.
Contoh:
PT A
|
PT B
|
|
(Harta X)
|
(Harta
Y)
|
|
Nilai
sisa buku Rp 10.000.000,00
|
Rp 12.000.000,00
|
|
Harga pasar Rp 20.000.000,00
|
Rp 20.000.000,00
|
Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun
tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak‐pihak yang bersangkutan, namun
karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp 20.000.000,00 maka jumlah
sebesar Rp 20.000.000,00 merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan
atau nilai penjualan yang seharusnya diterima.
Selisih
antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan
keuntungan yang dikenakan pajak. PT A memperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.000,00 (Rp
20.000.000,00 – Rp 10.000.000,00) dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp
8.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 – Rp 12.000.000,00).
Ayat (3)
Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta,
penilaian harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan
harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha.
Selain itu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi
usaha atau sebab lainnya.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta
yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Contoh:
PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan
baru, yaitu PT C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan
tersebut adalah sebagai berikut:
PT A PT B
Nilai sisa buku Rp
200.000.000,00 Rp 300.000.000,00
Harga pasar Rp
300.000.000,00 Rp 450.000.000,00
Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A
dan PT B dalam rangka peleburan menjadi PT C adalah harga pasar dari harta.
Dengan demikian PT A mendapat keuntungan sebesar Rp 100.000.000,00 (Rp
300.000.000,00 – Rp 200.000.000,00) dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp
150.000.000,00 (Rp 450.000.000,00 – Rp 300.000.00,00). Sedangkan
PT C membukukan semua harta tersebut dengan
jumlah Rp 750.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 + Rp
450.000.000,00).
Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di
bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri
Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar, yaitu
atas dasar nilai sisa buku ("pooling of interest"). Dalam hal
demikian PT C membukukan penerimaan harta dari PT A dan PT
B tersebut sebesar Rp 500.000.000,00 (Rp 200.000.000,00 + Rp
300.000.000,00).
Ayat (4)
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan,
sumbangan yang memenuhi syarat dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a atau warisan, maka nilai perolehan bagi pihak yang
menerima harta adalah nilai sisa buku
harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak
menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai
perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan,
sumbangan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf a, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga
pasar.
Ayat (5)
Penyertaan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat
dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta.
Ketentuan ini mengatur tentang penilaian harta yang
diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal dimaksud, yaitu
dinilai berdasarkan nilai pasar dari harta yang dialihkan tersebut.
Contoh:
Wajib
Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp 25.000.000,00 kepada PT
Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp 20.000.000,00.
Harga pasar mesin‐mesin bubut tersebut adalah Rp
40.000.000,00. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai
aktiva dengan nilai Rp 40.000.000,00 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan
penghasilan bagi PT Y.
Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar
harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 ‐ Rp 20.000.000,00)
dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar Rp 15.000.000,00 (Rp
40.000.000,00 ‐ Rp 25.000.000,00) merupakan Objek Pajak.
Ayat (6)
Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang,
yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan
baku dan bahan pembantu.
Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian
persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian
persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara
rata‐rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama
("first‐in first‐out atau disingkat FIFO"). Sesuai dengan kelaziman,
cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadap sekuritas.
Contoh:
1.
Persediaan
Awal 100 satuan @ Rp 9,00
2.
Pembelian
100 satuan @ Rp 12,00
3.
Pembelian
100 satuan @ Rp 11,25
4.
Penjualan/dipakai
100 satuan
5.
Penjualan/dipakai
100 satuan
Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan
dengan menggunakan cara ratarata misalnya sebagai berikut:
No.
|
Didapat
|
Dipakai
|
Sisa/Persediaan
|
a.
|
100 @
Rp 9,00
=Rp 900,00
|
||
b.
|
100 @ Rp 12,00 =Rp
1.200,00
|
200 @
Rp 10,50
=Rp
2.100,00
|
|
c.
|
100 @
Rp 11,25
=Rp
1.125,00
|
300 @
Rp 10,75
=Rp
3.225,00
|
|
d.
|
100 @
Rp 10,75
=Rp
1.075,00
|
200 @
Rp 10,75
=Rp
2.150,00
|
|
e.
|
100 @
Rp 10,75
=Rp
1.075,00
|
100 @
Rp 10,75
=Rp
1075,00
|
Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan
dengan menggunakan cara FIFO misalnya sebagai berikut:
No.
|
Didapat
|
Dipakai
|
Sisa/Persediaan
|
a.
|
100 @
Rp 9,00
=Rp 900,00
|
||
b.
|
100 @ Rp 12,00 =Rp
1.200,00
|
100 @
Rp 9,00
=Rp
900,00
100 @
Rp.12,00
=Rp.
1.200,00
|
|
c.
|
100 @
Rp 11,25
=Rp 1.125,00
|
100 @
Rp 9,00
=Rp
900,00
100 @
Rp.12,00
=Rp.
1.200,00
100 @
Rp. 11,25
=Rp.
1.125,00
|
|
d.
|
100 @
Rp 9,00
=Rp
900,00
|
100 @
Rp.12,00
=Rp.
1.200,00
100 @
Rp. 11,25
=Rp.
1.125
|
|
e.
|
100 @
Rp.12,00
=Rp.
1.200,00
|
100 @
Rp. 11,25
=Rp. 1.125,00
|
Terkait pasal 10 ayat 1. Dalam pelaporan harta di SPT OP apakahnya pelaporan nilai perolehan harta juga mengkapitalisasi bunga pinjaman atas hutang untuk memperoleh harta?
BalasHapusUntuk jd bahan pertimbangan bahwa menurut petunjuk pengisian SPT 1770S nilai hutang yg dilaporkan termasuk juga hutang bunga.
Terkait pasal 10 ayat 1. Dalam pelaporan harta di SPT OP apakahnya pelaporan nilai perolehan harta juga mengkapitalisasi bunga pinjaman atas hutang untuk memperoleh harta?
BalasHapusUntuk jd bahan pertimbangan bahwa menurut petunjuk pengisian SPT 1770S nilai hutang yg dilaporkan termasuk juga hutang bunga.
bisa nggak ya memberi contoh perlakuan pajak terhadap biaya aset tetap gabungan yang sesuai dengan pph pasal 10
BalasHapus